Halaman

.

Senin, 12 Mei 2014

Kamu

Kamu, jika aku memikirkan tentang kamu maka dunia seakan memudar dalam bayang - bayang. Kamu dan aku dan diam. Kamu, seandainya saja aku bisa berkata lebihdan tau lebih, maka ini tidak akan menyulitkan

Senin, 05 Mei 2014

Menunggu, random

      Lagi, semilir angin sepoi - sepoi menerpa. Sedangkan aku sibuk berkutat dengan tugas yang harus segera di selesaikan. Angin menerpa wajahku, membuat mata sedikit terkantuk - kantuk. Dengan jilbab hijau yang mencolok aku berusaha menghindari keramaian, aneh. Sedikit - sedikit kupandangi jalanan dihadapanku, terdapat orang dan kendaraan berlalu lalang. Berusaha meninggalkan kantuk dan bosan, dalam sebuah penantian. Bukan, bukan hal yang seperti itu. Ini hanya menanti teman, karena kami janji bertemu. Bukan, bukan dia yang di masa depan. Ini hanya janji biasa saja. Fuuh dia belum datang juga, sepertinya aku harus menunggu sedikit lebih lama. Lagi, kendaraan berlalu di hadapanku layaknya waktu yang juga senantiasa berlalu

Senin, 07 April 2014

Sekar & Langit

Bagaikan sekar yang tumbuh terus memanjang.
Ia tumbuh memandang Langit.
Bagaikan sekar ia terus menghadap Langit.
Hingga apa yang dilihatnya menjadi kekaguman.
Bagaikan sekar yang senantiasa menatap ke atas.
Dia tahu keindahan Langit.
Dia tahu Langit terlampau tinggi.
Sedang dirinya terikat dalam menghujam tanah.
Pagi hingga malam, hingga pagi kembali dia terus menatap Langit.
Begitulah ketentuan untuk sekar.
Dia, adalah pengagum Langit.

Dirinya, adalah sekar, yang tak mampu menggapai Langit.

Rabu, 19 Februari 2014

Fabiayyi âlâi Rabbikumâ tukadzdzibân

Itulah satu ayat yang terngiang - ngiang dipikiran saya awal hingga pertengahan bulan Februari ini. Penggalan dari Al Quran Surat Ar Rahman yang senantiasa diulang - ulang di dalamnya oleh Allah SWT.

Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?

Alhamdulliah, pada tanggal 4 Februari saya sudah selesai krsan dengan lancar. Setelah begitu lama menatap layar laptop dan meng"klik" tulisan 'Kartu Rencana Studi' akhirnya saya mampu memenangkan pertarungan itu.Setelah pengisiang krs itu esoknya saya jatuh sakit. Bukan karena pengisian krs saya jatuh sakit tapi karena selama dua hari ini saya hampir tidak tidur. Sibuk mencari bacaan di internet pada malam hari dan paginya saya bersiaga untuk krsan jadi selama satu hari dua malam hanya tidur sekitar 2 jam. Suhu badan saya meninggi, udara terasa begitu dingin meskipun telah manggunakan selimut. Selain itu makanan seolah terasa hambar ketika meyentuh lidah. Hari pertama sakit saya hanya makan dua suap nasi. Namun saya sadar ketika sakit kita butuh asupan gizi. Oleh karena itu hari kedua saya memaksakan diri untuk makan tapi makanan yang masuk ke mulut masih tidak enak rasanya. Akhirnya hari ketiga suhu tubuh saya turun tapi indera perasa ini masih juga belum kembali pada kemampuan terbaiknya. Alhamdulillah hari keempat indera perasa saya sudah baik.


Makan dengan indera perasa yang bermasalah itu benar - benar tidak menyenangkan, karena bahkan makanan yang kita sukai terasa tidak enak. Saat itu kami sekaluarga pergi makan soto untuk menuruti keinginan saya. Tentu saja saya gembira sekali, karena mungkin saja jika makan - makanan yang berkuah akan lebih ada rasanya. Namun ternyata harus puas melihat keluarga saya makan dengan lahap dan semangkuk kecil soto itu tetap terasa hambar di lidah. Selain itu saya cukup suka makan pedas, ketika sedang makan bahkan rasa pedas itu sendiri tidak terlalu terasa meski sudah menggunakan banyak cabe. Begitulah sedikit saja Allah menguji saya dengan indera perasa ini tapi rasanya seakan begitu menyiksa. Ingin sekali bisa menikmati makanan dengan nikmat meskipun hanya dengan makanan seadanya tapi kenyataannya sulit. Maka saat itu teringatlah saya pada firman Allah SWT dalam surat Ar Rahman "Fabiayyi âlâi Rabbikumâ tukadzdzibân", maka nikmat Tuhan kamu manakah yang kamu dustakan?. Padahal selama ini saya sudah diberi nikmat sehat, nikmat indera perasa yang baik. Selama ini saya bisa menggunakan nikmat Allah itu dalam keseharian. Namun ketika sedikit saja Allah menguji dengan indera perasa ini, hanya tiga hari saja, rasanya begitu berat. Maka nikmat Tuhan kamu manakah yang kamu dustakan? Pertanyaan itu memenuhi pikiran saya, menuntut saya untuk senantiasa bersyukur atas nikmat sehat yang selama ini Allah SWT berikan kepada saya. Bersyukur atas nikmat indera perasa yang menemani keseharian saya. Alhamdulillah.



Itulah awal bulan saya dengan surat Ar Rahman dan ketika pertengahan bulan ayat itu kembali menghiasi pikiran saya. Pada tanggal 13 Februari malam hari Gunung Kelud meletus. Saya baru tahu kabar itu ketika pagi hari. Berdiri di luar, abu turun deras selayaknya hujan air. Sedangkan langit gelap gulita seakan masih subuh padahal waktu menunjukkan pukul enam. Ketika pukul sepuluh saya keluar lagi dan ternyata hujan abu masih turun dan masih cukup deras. Di luar terlihat jalan, rumah, dan pohon tertutup abu. Jalanan sepi, jarang sekali ada orang yang keluar rumah. Khayalan saya mulai bekerja, membayangkan Yogyakarta seolah kota mati yang sepi. Berwarna kelabu dan suram.

Pada akhirnya saya benar - benar keluar kos sekitar pukul 8 malam. Oleh karena butuh asupan gizi, maklumlah seharian belum makan sama sekali. Keadaan di luar masih begitu berdebu. Banyak toko - toko makanan yang tutup, dan saya berujung di burjo, karena hanya itu yang buka. Alhamdulillah bisa makan malam itu. Esok paginya saya masih mendekam di kosan karena memang tidak ada agenda hari itu. Namun keadaan sekitar masih begitu ber abu. Abu vulkanik ini mempunyai potensi membahayakan kesehatan juga, jika saya tidak salah. Warga sudah berusaha menyirami jalan - jalan dan membersihkan abu di lingkungan mereka. akan tetapi tetap saja, abu tebal masih ada dimana - mana. Abu yang berterbangan juga masih memenuhi jalan - jalan. Alhamdulillah akhirnya hujan pun tutun setelah beberapa hari Yogyakarta dipenuhi abu. Abu yang ada di atas pohon serta atap mulai berkurang karena datangnya hujan. Meskipun begitu hingga hari ini tetap saja di Yogyakarta abunya masih terasa. Di pinggir - pinggir jalan abu masi menumpuk. Padahal sudah disiram berkali - kali. Hingga saat ini saya masih penasaran berapa lama waktu yang dibutuhkan agar jalanan dapat pulih seperti dulu.

14 Februari tepat dimana abu deras mengguyur Yogyakarta hingga siang hari. Mengurung semua orang di rumahnya masing - masing. Kata sebagian orang itu adalah hari kasih sayang. Katanya sih begitu, dan ketika hujan abu itu turun rencana - rencana yang telah dibuat terpaksa dibatalkan. Katanya sih begitu, tapi dalam islam tidak ada yang namanya hari kasih sayang. Dalam islam kita diajarkan untuk mengasihi saudara kita sesama muslim bahkan bukan hanya pada manusia saja juga pada seluruh makhluk Allah SWT. Mengasihinya bukan cuma sehari saja tapi kapanpun tentunya ketika kita berinteraksi dengan mereka. Bukankah Rasulullah SAW telah mencontohkan akhlak mulia tersebut?

14 Februari hingga sekarang, Yogyakarta masih dipenuhi abu. Berkali - kali kita berusaha membersihkan jalanan, menyiram dengan air. Namun tetap saja abu berterbangan mengganggu pandangan dan pernapasan kita. Begitu adanya, tapi ketika hujan deras malam itu turun akhirnya keringanan itu datang. Paginya permasalahan abu sedikit berkurang. Abu di atap dan pohon - pohon mulai berkurang dan jalanan juga menjadi sedikit lebih lega. Kita sudah berusaha dan tetap Allah SWT yang berkuasa memudahkan segala sesuatu. Maka nikmat Tuhan kamu manakah yang kamu dustakan?

Satu malam saja Gunung Kelud meletus tapi dampaknya terasa kemana - mana. Bahkan di sekitar Yogyakarta abunya begitu parah. Belum lagi di beberapa kota lain. Baru letusan Gunung Kelud, bukan letusan Krakatau yang begitu hebat di tahun 1883 tapi sudah berpengaruh besar bagi aktivitas penduduk. Bagaimana keadaan saudara kita di Sinabung, yang rumahnya penuh abu, lahannya rusak. Baru juga meletus, belum gunung - gunung dihancurkan. Seperti apakah kita jika Allah SWT menghancurkan gunung - gunung itu? Maka nikmat Tuhan kamu manakah yang kamu dustakan?








 





















Referensi gambar:
https://astuy19.wordpress.com/page/2/
http://www.google.com/imgres?newwindow=1&client=firefox-a&sa=X&rls=org.mozilla%3Aid%3Aofficial&channel=sb&tbm=isch&tbnid=qjeufMum624lgM%3A&imgrefurl=http%3A%2F%2Fdheajaru.tumblr.com%2Fpost%2F25144358079%2Fthis-ayah-is-repeated-31-times-in-a-surah-the&docid=cpI22bio3y4izM&imgurl=http%3A%2F%2F25.media.tumblr.com%2Ftumblr_m5n8ztRWt61qhxn6ro1_500.jpg&w=500&h=286&ei=_rUFU_iOJKSUiAeE54D4Cg&zoom=1&ved=0CLsBEIQcMCA&iact=rc&dur=845&page=3&start=25&ndsp=18&biw=1280&bih=641


Sabtu, 11 Januari 2014

Puisi



Tepian Jalan
By: Novita Nur S

Gelap telah menelan terangnya matahari
Pendar – pendar bulan lah yang masih setia menemani
Sudut – sudut kota terasa begitu dingin
Orang – orang membisu dalam kesibukan juga dalam mimpi
            Sedangkan tepian jalan
            Seakan sepi dalam padatnya lalu lintas
            Seakan terlupakan dalam hingar bingar lampu kota
            Seakan hanya latar dalam perjalanan
Padahal di sana ada mereka
Bocah – bocah yang berkeliaran di luar rumah meski larut malam
Bocah – bocah yang menahan lapar dalam diam
Bocah – bocah yang bersemangat menghampiri kendaraan yang melintas
Bocah – bocah yang kakinya bahkan tak beralas
            Tidakkah mereka merasa ketakutan?
            Tidakkah mereka merasa lelah?
            Tidakkah mereka mersa muak pada dunia?
            Atau mungkin pada kita?
Tepian jalan yang sepi
Menorehkan warna pucat pasi
Tepian jalan yang sepi
Bukankah masih menjadi bagian dunia ini?