Cerpen1
Semua
orang selalu berkata bermimpilah sebanyak yang kau bisa, karena mimpi – mimpi itu
kelak akan jadi kenyataan. Seandainya mereka benar tentu saat ini hidupku lebih
baik. Aku berhenti percaya akan mimpi, sejak satu tahun tahun yang lalu.
Sebagai seorang bocah yang duduk di bangku Sekolah Dasar aku termasuk anak yang
ceria. Penuh dengan tawa, canda dan banyak impian. Semua begitu indah dan
menyenangkan, hingga kejadian yang mengubah segalanya itu tiba. Papa pulang ke
rumah dengan raut muka begitu kusut. Terlihat kebingungan, rasa cemas dan
disertai dengan duka yang mendalam pada raut wajahnya. Sebuah berita buruk,
perusahaan Papa mengalami kebangkrutan karena ditipu oleh rekan bisnisnya.
Perusahaan itu bukanlah perusahaan yang sangat besar. Akan tetapi cukup untuk membuat
kami hidup dengan kenyamanan. Hutang
yang besar membuat kami harus menjual segala harta benda yang kami miliki.
Mulai dari perhiasan, perabot rumah, hingga pakaian – pakaian yang bermerek.
Setelah itu kami tidak memiliki apa – apa dan benar – benar menjadi miskin.
Hanya saja Papa tetap bersikeras mempertahankan rumah kami yang besar dengan
hanya beberapa perabot sederhana di dalamnya. Oleh karena keinginan Papa, kami
harus membayar uang setiap bulannya untuk melunasi hutang yang bahkan hingga
saat ini belum terlunasi. Seandainya rumah itu dijual mungkin uang yang harus
kami bayarkan tidak terlalu banyak. Meski tetap tidak mengerti alas an Papa,
kami tetap percaya menuruti keinginannya. Aku selalu bermimpi kami akan keluar
dari kesulitan ini dan semua akan kembali membaik seperti sebelumnya. Aku terus
bermimpi suatu saat kami tidak akan makan hanya dengan tempe tahu saja tapi
dengan ayam goreng lezat di restoran fast food. Aku terus bermimpi kelak dapat memakai pakaian bermerek yang ada
di outlet – outlet ternama seperti dulu. Aku terus bermimpi serta tak lupa
berusaha selama enam tahun belakangan . Akan tetapi mimpi itu tidak pernah
terwujud, karena kami tetap miskin. Kami tetap dibayang – bayangi hutang setiap
harinya. Telah lama kami membayar, hutang itu tetap terasa begitu besar. Aku
begitu lelah, akan mimpi yang tidak pernah terwujud. Oleh karena itu aku berhenti
bermimpi. Hal yang perlu aku lakukan hanyalah berusaha. Aku percaya dengan
berusaha semua menjadi lebih baik, tanpa harus bermimpi.
“Dina, kenapa melamun
?” Tanya Kania sahabatku.
“Gapapa kog.” Jawabku yang sebenarnya memang sedang melamun. Kania adalah sahabat terbaikku. Dia orang yang begitu perhatian dan baik hati. Kania dapat mengerti bagaimana kesulitan diriku saat ini. Seperti apa keadaan yang selama ini telah aku alami. Bukanlah waktu yang mudahuntuk dilewati tentunya. Berdasarkan usahaku, aku dapat memasuki sebuah Universitas ternama di kota tempatku tinggal. Tentu saja universitas negeri, karena tidak mungkin orang tuaku mampu membiayai jika bukan universitas negeri. Selain itu berdasarkan usahaku lagi aku mendapatkan beasiswa untuk berkuliah. Sehingga aku dapat bersekolah gratis di sini. Sejak dulu selalu begitu mendapat beasiswa, di setiap sekolah. Pantaslah, karena itu hasil dari usahaku selama ini untuk terus mendapat nilai terbaik. Walau harus rela tidur hanya dua hingga tiga jam setiap harinya.
“Kamu tahu Din, aku
selalu bermimpi suatu saat dapat menjadi seorang penari professional. Aku suka
sekali tari tradisional dan impianku adalah mendapat undangan untuk menari Jawa
di Benua Eropa, di tempat seni begitu
dijunjung.” Cerita Kania dengan menggebu – gebu.
“Iya tentu saja, aku
percaya kamu dapat melakukannya.” Kataku pada Kania sembari menepuk bahunya
dengan lembut. Aku menghargainya karena aku tahu selama ini dia telah berusaha
keras untuk menjadi penari yang baik. Mengikuti segala lomba dan juga menerima
segala tawaran untuk menari. Setiap harinya Kania juga selalu berlatih dan
terkadang membuat beberapa variasi untuk tariannya. Sebenarnya aku tidak
percaya, tidak percaya mimpi itu akan terkabul. Oleh karena aku tahu bahwa
mimpi manusia sangat sulit terkabul. Walau dia telah menghabiskan waktunya,
mimpi itu akan tetap jauh untuk dicapai. Apalagi selama ini belum ada peluang –
peluang yang terlihat bagi Kania. Aku
tak mampu mengutarakan pendapatku sesungguhnya, karena tidak ingin melukai
hatinya. Bukannya aku sahabat bermuka dua atau tidak ingin melihat sahabatnya
bahagia. Akan tetapi aku telah mengalaminya, dan aku tidak ingin sahabatku
merasakan seperti yang kurasakan. Berhentilah, berhenti bermimpi lakukan saja
yang harus dilakukan dan juga lakukan apa yang diperintahkan padamu. Ditambah
dengan bumbu kerja keras maka hidupmu akan menjadi jauh lebih baik. Itulah
prinsipku.
“Baiklah aku akan terus
bekerja keras. Kau juga Dina, belajarlah untuk bermimpi. Percayalah pada mimpi,
bahwa ia memang akan terkabul.” Kata Kania padaku.
Aku
menjawab perkataannya dengan senyum. Bagaimana mungkin aku peraya pada mimpi.
Padahal mimpilah yang membuat kami seperti ini. Andai Papa tidak bermimpi untuk
medirikan perusahaan cabang di Singapura, tentu kami tidak akan menjadi seperti
ini. Seharusnya Papa cukup menjalani yang sudah ada, kenapa harus bermimpi
menguasai pasar ASEAN dengan mendirikan cabang di setiap Negara ASEAN. Sehingga
ia tertipu rekan bisnis yang katanya telah mengerti seperti apa kondisisi pasar
ASEAN. Mimpi itulah yang membawa kami menjadi seperti ini. Oleh karena itu aku
tidak punya mimpi. Bahkan sedari dulu aku memasuki sekolah yang memang
diinginkan orang tuaku. Aku ingin segera lulus kuliah lalu bekerja di tempat
yang diinginkan kedua orang tuaku. Itu saja sudah cukup.
Hari
itu, mulai terfikir olehku untuk mencari pekerjaan guna menambah kebutuhan
kuliah yang tidak mungkin kuminta pada orang tua. Segera aku pergi ke perpustakaan
kampus untuk mencari koran baru pagi itu. Sesampainya di perpustakaan aku
langsung membuka bagian lowongan pekerjaan. Lowongan yang ada memiliki banyak
syarat – syarat yang diajukan dan kebanyakan pekerjaan yang ditawarkan
membutuhkan waktu seharian. Sulit untukku jika melakukannya sembari kuliah. Pada
akhirnya ada sebuah pekerjaan yang cukup menarik. Pekerjaan itu adalah merawat
wanita yang berumur sekitar 40an tahun. Sama seperti mama kira – kira umurnya.
Tidak banyak persyaratan yang diperlukan. Selain itu keputusan diambil dari
hasil wawancara. Waktu wawancara sudah dibuka sejak kemarin. Segera kubereskan
koran dan bersiap – siap untuk mengikuti wawancara. Tergesa – gesa aku menuju tempat
pemberhentian bus di depan kampus. Walau telah bersiap, ternyata bus yang aku
tunggu belum juga datang. Disamping tempatku duduk, ada seorang pria yang
membawa kamera. Pria itu sepertinya sedang mengambil potret sekumpulan pengamen
kecil yang sedang bernyanyi. Bagi orang lain tentu saja aneh. Untuk apa
mengambil foto anak – anak yang urakan, kotor dan dekil itu. Akan tetapi bagi
seniman segala apapun yang terjadi memiliki arti dan keindahan masing – masing.
Tiba – tiba para pengamen kecil itu datang menghampiriku.
Aku mengeluarkan dompet
dan memberikan mereka selembar uang seribu rupiah. Tidak bernilai besar memang,
tapi aku berharap dapat membantu mereka. Orang – orang yang juga tidak
beruntung sepertiku.
“Makasih mba, nanti
dibalas Yang Maha Kuasa.” Kata mereka dengan senyum lebar. Aku membalas perkataan
mereka dengan senyum. Segera setelah itu datang lah sebuah bus dari kejauhan.
aku memasukkan dompet ke dalam tas dengan cepat. Setelah bus berhenti aku masuk
kedalamnya, membayar pada kondektur kemudian duduk.
Perjalanan menuju
tempat wawancara menghabiskan waktu 30 menit menggunakan bus. Kemudian aku
harus berjalan kaki menuju alamat yang tertera di Koran. Alamat itu ternyata
berada dalam sebuah perumahan elit, yang terdiri dari deretan rumah – rumah
yang tidak kalah bagusnya dengan rumah para artis yang biasa muncul di
televisi. Teringat rumah kami yang terus dipertahankan Papa. Selama ini kami
tinggal di rumah yang bagus diluarnya. Padahal kami begitu miskin di dalam.
Rasanya minder saat berkumpul dengan tetangga, yang mayoritas mereka memang
kaya. Lagipula malas jika setiap berkumpul hanya untuk memamerkan barang –
barang yang berharga mahal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar