Halaman

.

Jumat, 22 November 2013

Mungkin dia begitu bodoh



Gadis itu terdiam. Bayang – bayang masa lalu melintas kembali dalam pikirannya. Dia menyesal, sangat menyesal. Teringat luapan cinta dan kasih sayang yang melingkupinya dulu, yang merengkuhnya dalam tawa dan canda. Namun kali ini dia menangis ketika semua itu membayanginya, karena dialah yang meninggalkan itu semua.

Kasih sayang untuknya begitu berlimpah. Semua menyayangi dan tertawa padanya. Namun dia, dia justru menutup mata. Menutup mata dari kehangatan dan kebahagiaan yang selama ini melingkupinya. Ini karena kesalahannya dia sibuk mencari hakekat cinta, kasih sayang dan kebahagiaan. Selama ini dia terus berjalan untuk mencari itu. Dia terus berjalan hingga merasa kepayahan dan terus mencari. Dia begitu sibuk dalam pencariannya. Hingga ia tak sadar bahwa cinta, kasih dan kebahagiaan ada di hadapannya, membersamainya selama ini. Akan tetapi matanya senantiasa tertutup, padahal cinta, kasih dan kebahagiaan itu begitu dekat.

Cinta itu selama ini senantiasa menguatkannya. Kasih itu selama ini senantiasa melindunginya. Lalu kebahagiaan, selama ini senantiasa ada bersamanya.

Hingga akhirnya ia sampai pada sebuah titik dan membuka mata. Menyadari segala apa yang ada untuknya. Sayang semua terlambat, waktu telah tiba pada penghujung. Akhirnya semua hilang, semua pudar dan jarak menjadi pemisah. Semua sudah pergi, sebelum ia sempat mengucap terima kasih atas segala curahan cinta, kasih dan kebahagiaan yang diberikan padanya. Walau dia tahu mungkin terima kasih itu tak diharapkan.

Gadis itu terdiam. Pandangannya menerawang mengingat apa yang telah diterimanya. Gadis itu terdiam, berusaha menyelami ingatannya, berusaha merasakan tiap – tiap cinta, kasih dan bahagia yang dulu di dapatkannya. Gadis itu terdiam, terbawa kenangannya. Gadis itu terdiam, hingga sesak menyeruak dalam dadanya ketika dia sadar semua tak kan pernah kembali. Gadis itu terdiam, dan bulir bulir air mata itu jatuh tanpa suara.













sumber gambar : http://www.google.com/imgres?start=415&client=firefox-a&sa=X&rls=org.mozilla:id:official&sout=0&tbm=isch&tbnid=YE50AyeBLzwd8M:&imgrefurl=http://health.lintas.me/article/rameteo.blogspot.com/ini-7-kunci-kebahagiaan&docid=aeKpD7i3NORNvM&imgurl=http://i.brta.in/images/2013-10/068d7fef77ffbb0fed4e7c5b72d5a20b.png&w=395&h=245&ei=eN6PUojaBs_LrQfj7ICYCw&zoom=1&ved=1t:3588,r:22,s:400,i:70&iact=rc&page=20&tbnh=159&tbnw=256&ndsp=25&tx=198&ty=82&biw=1280&bih=667

Minggu, 03 November 2013

Kisah Iblis Menemui Rasulullah SAW

Ketika kami sedang bersama Rasulullah SAW di kediaman seorang sahabat Anshar, tiba-tiba terdengar panggilan seseorang dari luar rumah, "Wahai penghuni rumah, bolehkah aku masuk? Sebab kalian akan membutuhkanku."

Rasulullah bersabda, “Tahukah kalian siapa yang memanggil?”

Kami menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.”

Beliau melanjutkan, “Itu Iblis, laknat Allah bersamanya.”

Umar bin Khattab berkata, “Ijinkan aku membunuhnya wahai Rasulullah”

Nabi menahannya, “Sabar wahai Umar, bukankah kamu tahu bahwa Allah memberinya kesempatan hingga hari kiamat? Lebih baik bukakan pintu untuknya, sebab dia telah diperintahkan oleh Allah untuk ini, pahamilah apa yang hendak ia katakan dan dengarkan dengan baik.”

Ibnu Abbas RA berkata, “Pintu lalu dibuka, ternyata dia seperti seorang kakek yang cacat satu matanya. Di janggutnya terdapat 7 helai rambut seperti rambut kuda, taringnya terlihat seperti taring babi, bibirnya seperti bibir sapi.”

Iblis berkata, “Salam untukmu Muhammad,... salam untukmu para hadirin...”

Rasulullah SAW lalu menjawab, “Salam hanya milik Allah SWT, sebagai mahluk terlaknat, apa keperluanmu?”

Iblis menjawab, “Wahai Muhammad, aku datang ke sini bukan atas kemauanku, namun karena terpaksa.”

”Siapa yang memaksamu?”

”Seorang malaikat dari utusan Allah telah mendatangiku dan berkata, ‘Allah SWT memerintahkanmu untuk mendatangi Muhammad sambil menundukkan diri. Beritahu Muhammad tentang caramu dalam menggoda manusia, jawablah dengan jujur semua pertanyaannya. Demi kebesaran Allah, andai kau berdusta satu kali saja, maka Allah akan jadikan dirimu debu yang ditiup angin.’

Oleh karena itu aku sekarang mendatangimu. Tanyalah apa yang hendak kau tanyakan. Jika aku berdusta, aku akan dicaci oleh setiap musuhku, tidak ada sesuatu pun yang paling besar menimpaku daripada cacian musuh.”

1. Orang Yang Dibenci Iblis

Rasulullah SAW lalu bertanya kepada Iblis, “Kalau kau benar jujur, siapakah manusia yang paling kau benci?”

Iblis segera menjawab, “Kamu, kamu dan orang sepertimu adalah mahkluk Allah yang paling aku benci.”

”Siapa selanjutnya?”

”Pemuda yang bertakwa yang memberikan dirinya mengabdi kepada Allah SWT.”

Sabtu, 02 November 2013

Berawal dari Sebuah Kata "Terserah"

Berawal dari sebuah kata "Terserah".

Tentu kita pernah mengalami masa kecil. Mana mungkin lahir tau - tau langsung berumur 20 tahun kan? Masa kecil merupakan salah satu rangkaian kita dalam berproses menjadi seperti saat ini. Masa kecil merupakan bagian yang penting pada pembentukan karakter masing - masing individu. Oleh karena itu apa yang terjadi di masa kecil mempengaruhi sikap dan sifat kita ketika dewasa.


Saya belakangan ini merasa bahwa tingkah laku saya di waktu kecil membuat saya menjadi seperti ini.

Saat kecil, saya sering menginap di rumah saudara sepupu saya yang ada di Yogyakarta. Dia perempuan dan lebih tua satu tahun, tapi kami seangkatan. Ketika menginap tante dan om suka membelikan makanan atau menanyakan ingin makan apa kepada kami.

"Nanti mau makan apa mba Nopi?"
"Terserah tante."
"Soto apa sop?"
"Ya terserah tante."

Lalu
"Mba Nopi mau nasi lagi?"
"Ya terserah tante."
"Lauknya mau nambah juga?"
"Emmm, teserah tante."


Sering sekali jawaban dari pertanyaan - pertanyaan ketika masih kecil aku jawab dengan jawaban terserah. Hingga aku sering diledek oleh om, tante dan saudara sepupuku karena terlalu sering mengatakan terserah. Kebiasaan itu berlangsung hingga sekitar 5 - 6 tahun.

Kebiasaan itu ternyata baru aku rasakan pengaruhnya sekarang. Terlalu seringnya aku menggantungkan keputusan ke orang membuatku sulit mengambil keputusan sendirian.

Aku Belajar Diam




Sekarang fitri lagi belajar buat diam.












Jujur menghadapi kalian semua itu rasanya berat. Melihat kalian yang sulit untuk dikumpulkan. Melihat alasan ijin kalian yang bagiku kurang masuk akal. Melihat kalian yang sulit diajak berdiskusi. Dua bulan saudaraku, dua bulan lagi. Apakah tidak boleh aku meminta prioritas kalian untuk di tempat ini?
Dua bulan, dua bulan lagi saja.

Fitri juga butuh kalian, butuh kalian untuk berjalan bersama, berlari bersama. Dua bulan ini, kita ingin meninggalkan tempat itu dengan peninggalan terbaik kan?

Jujur menghadapi tuntutan kalian itu berat, karena kalian menuntut tanpa tahu kondisi, tanpa memberi solusi. Menanggapi tuntutan kalian hanya membuat hati ini terasa semakin sesak. Maka rasanya ingin mengeluarkan semuanya dengan kata - kata. Namun jika begitu, emosi yang akan mengambil alih.

Oleh karena itu mulai sekarang aku belajar untuk diam. Diam menanggapi tuntutan kalian, aku diam. Aku akan diam dan bergerak, tanpa peduli kalian mau berkata apa. Aku akan bergerak, aku akan melakukan daripada aku sibuk memikirkan kalian. Aku, aku akan menerima. Semoga diamku tidak membawa kesulitan pada diriku dan justru menjadi sebuah pelajaran berharga.



Sumber gambar: http://wanwma.com/agama/didikan-rasulullah-tentang-diam/
http://wanwma.com/agama/didikan-rasulullah-tentang-diam/

Aku Paham



Ternyata sudah bulan November. Ga kerasa waktu berlalu begitu cepat. Parahnya Oktober kemarin berlalu tanpa satu tulisan pun yang aku buat. Paraaaah banget, padahal sudah berniat dalam hati untuk menulis minimal satu bulan satu tulisan dan tidak tercapai :(

Belakangan entah kenapa merasa semakin sulit untuk menulis dan merangkai kata - kata. Butuh waktu bermenit - menit hanya untuk memikirkan satu atau dua kalimat. Rasanya menyebalkan sekali. Lebih mudah mengungkapkan apa yang dipikirkan dengan kata - kata daripada tulisan. Namun aku paham, menulis itu berbeda. Menulis itu membawamu tenggelam ke dalam alur kisah yang kamu ciptakan. Menulis itu berbagi dengan yang lain, berbagi rasa, berbagi cerita, berbagi ilmu. Menulis itu menyisakan jejak, jejak bahwa kita pernah ada.


Aku paham, karena itu aku  
menulis. Aku paham, karena itu aku berusaha. Aku paham, karena itu aku akan belajar, belajar untuk menyukai menulis.



sumber gambar: yannemenulis.blogspot.com