Anak Nelayan
Matahari
berada tepat di atas kepala. Panasnya terasa menghangatkan tubuhku yang
sebagian besar terendam air. Musim panas begini menjadi saat – saat kesukaan
kami para anak nelayan. Air laut sedikit lebih hangat dari biasanya. Sudah dua
jam aku berenang di laut. Sesekali masuk ke bagian yang lebih dalam untuk
mengambil rumput laut. Sebelumnya aku membantu Bapak mengangkat jaring yang
kami pasang tadi malam. Ikan yang terjerat lumayan banyak. Kami mengambil
beberapa ekor ikan untuk persediaan lauk di rumah, sisanya kami jual ke
tengkulak di pasar.
Begitu
sering berinteraksi dengan laut membuat aku menyukainya. Namun bukan hanya suka
aku juga mengagumi laut. Tidak ada tempat seindah laut, yang memiliki hewan dan
tumbuhan begitu banyak jumlahnya. Menyelam merupakan cara terbaik untuk
menikmati keindahan laut. Berenang bersama ikan – ikan dan mengamati terumbu
karang. Aku tidak pernah bosan melakukannya selama bertahun – tahun. Saat yang
paling aku sukai adalah ketika bertemu kawanan ikan yang berenang bersamaan.
Jumlah mereka ratusan. Seperti ingin menyerbumu tapi ternyata hanya lewat
begitu saja.
“Yusuf
sudah lama kau berenang di laut ayo pulang. Mamakmu pasti sudah memasakkan
makan siang untuk kita semua.” Kata Bapak sedikit berteriak sembari melambaikan
tangan padaku.
“Baiklah
Pak Yusuf akan segera naik.” Kataku sembari menuju kearah perahu. Aku segera
menaiki perahu. Bapak adalah seorang nelayan yang rajin. Malam hari Bapak
memasang jaring. Pagi hari melaut ke bagian yang lebih jauh untuk mendapat ikan
yang lebih besar. Siangnya Bapak mengangkat jaring. Untungnya saat ini sedang
liburan sekolah, jadi aku bisa membantu Bapak lebih sering.
Bapak
menghidupkan mesin perahu. Suara mesin begitu berisik, aku tidak suka. Akan tetapi
ketika perahu berjalan membelah lautan suara berisik itu berkurang. Tertutupi
oleh suara deburan ombak yang menghantam perahu. Dua puluh menit kemudian kami
tiba di bibir pantai. Bapak membawakan aku beberapa ekor ikan untuk di rumah.
Aku segera berjalan ke rumah. Sedangkan Bapak membawa ikan hasil tangkapan ke
tengkulak. Beberapa langkah lagi aku akan tiba di rumah. Rumah kami tergolong
rumah sederhana. Rumah kami berbentuk rumah panggung, Kutemui Mamak yang ada di
dapur kemudian kuserahkan ikannya.
Makan
siang sudah terhidang di meja makan. Segera ku ambil piring dan mulai mengambil
makan. Lauk yang terhidang tentu saja makanan laut. Cumi – cumi, ikan dengan
ukuran sebesar lengan bawah orang dewasa, udang ukuran besar, kerang dan banyak
lagi. Kami tidak pernah kekurangan makanan di sini, karena alam yang kaya
senantiasa menyediakan kekayaannya untuk kami.
Mamak
keluar dari dapur dan duduk di sebelahku. Kemudian seperti biasa, meskipun aku
sedang libur Mamak pasti akan menanyakan tentang sekolah. Kujelaskan pada Mamak
tentang sekolah serta nilai – nilaiku. Nilaiku di sekolah termasuk lumayan,
tidak jelek – jelek. Mamak mengangguk – angguk saja. Aku tahu sebenarnya Mamak
tidak terlalu mengerti tentang nilai, karena dulu Mamak tidak pernah sekolah.
Namun semangat Mamak selalu tinggi untuk menyuruhku sekolah. Mamak ingin
anaknya menjadi orang pintar yang bisa membangun bangsa, itu yang berulang –
ulang Mamak katakan.
Waktu
menunjukkan pukul dua siang. Sepertinya ada hal yang kulupakan, kucoba untuk
mengingat – ingat. Janji pukul satu siang di pantai. Benar – benar aku pelupa
sekali. Segera aku berpamitan pada Mamak kemudian pergi menuju pantai.
Sebenarnya pukul satu siang ini aku ingin bertemu dengan sahabatku. Sekitar
lima menit kemudian aku tiba di pantai. Kusapukan pandangan, mencari – cari
sosok orang yang ingin ku temui. Seorang anak berkacamata duduk di atas pasir,
pandangannya menatap jauh ke arah laut. Ternyata kamu ada di sana.
“Assalamualaykum
Man. Maaf terlambat, aku kira kau sudah pulang.” Kataku pada laki – laki
berkacamata yang bernama Rahman itu.
“Tidak
masalah, hari ini kan aku memang sengaja ingin bertemu denganmu.” Kata Rahman
sembari tersenyum.
“Sebenarnya
ada apa Man, beberapa hari yang lalu suratmu datang dan kau ingin kita bertemu
di sini.” Aku merasa begitu penasaran.
“Kau
ingat saat pertama kali kita bertemu di sini? Saat itu aku sendirian kemari dan
aku ingin belajar berenang tapi yang ada aku tenggelam. Kemudian kau datang
menolongku. Seandainya tidak ada kau saat itu tidak tahu bagaimana nasibku
sekarang.” Kata Rahman yang kembali memandang ke arah lautan.
“Tentu
saja aku ingat. Sudahlah Man,yang penting sekarang kamu selamat, sehat. Hal
yang sudah berlalu janganlah kamu ingat – ingat lagi.” Kutepuk bahu Rahman
pelan.
“Iya
kau benar. Aku senang bisa bertemu denganmu Yusuf. Senag bisa mengenalmu, senag
juga beberapa tahun ini aku sudah mendapat guru renang yang hebat dan sekarang
aku sudah lebih mahir berenang. Aku sangat senang, tapi sayangnya kali ini aku
ingin berpamitan padamu.” Rahman mengalihkan pandangannya padaku.
“Berpamitan?
Memang kau ini mau kemana Man?”Tanyaku pada Rahman.
“Aku
ingin ke pulau Jawa. Aku ingin menjadi Insinyur Yusuf, seperti Bapakku. Aku
ingin bersekolah di ITB. Aku ingin menjadi insinyur hebat seperti Habibie. Di
rumah Bapak selalu bercerita tentang Habibie dan betapa hebatnya dia, karena
itu Yusuf aku ingin seperti Habibie.” Kata Rahman.
“Kita
saja masih sekolah menengah pertama Man, kuliah kan masih nanti. Kenapa kamu
ingin pindah sekarang?” Aku menatap lekat – lekat sahabatku itu.
“Iya
kau benar kita memang masih di sekolah menengah pertama. Aku akan pindah Yusuf,
ke tempat Pamanku di Bandung. Aku akan melanjutkan sekolah menangah pertama di sana, kemudian
sekolah menengah atas dan kuliah di ITB.” Rahman berkata panjang lebar.
“Kenapa
tidak di sini saja?” Aku masih tidak mengerti dengan keinginan sahabatku ini.
Sekolah tempatnya belajar jauh lebih bagus dariku. Sekolahnya berada di kota,
dekat dengan rumahnya. Murid – muridnya juga pintar. Sedangkan sekolahku biasa
– biasa saja, hanya sekolah yang ada di pinggiran kota. Jika ingin pergi ke
sekolah aku harus berjalan sekitar tujuh kilo. Murid – murid di sana tidak
terlalu pintar. Bahkan banyak yang jarang masuk sekolah karena lebih memilih
pergi ke laut, membantu orang tua.
“Kata
Bapakku di sini semangat untuk sekolah dan semangat untuk belajar masih rendah
Man. Taraf ilmu yang di ajarkan juga berbeda dengan yang di Jawa. Kita masih
tertinggal Man. Oleh karena itu, untuk mencapai cita – citaku aku ingin bertemu
dengan orang – orang yang memiliki semangat belajar tinggi dan juga ingin
mendapatkan ilmu yang lebih lagi.” Rahman bercerita dengan raut wajah yang
serius.
“Oh
begitu.” Aku berucap. Hanya itu saja kata – kata yang dapat ku katakan. Aku
sedih jika harus berpisah dengan Rahman. Tiga tahun sudah kami bersahabat dan
menyenangkan sekali berteman dengannya. Rahman selalu bercerita banyak hal
padaku dan membawa pengetahuan baru yang tidak kuketahui sebelumnya. Saat
mengajarinya berenang juga menjadi saat yang begitu menyenangkan karena kami
dapat tertawa – tawa dengan puas.
“Yusuf
apa cita – citamu? Ketika kau nanti dewasa, kau ingin menjadi apa? Ingin
seperti apa?” Rahman tiba – tiba memberondongku dengan beberapa pertanyaan.
“Aku
tidak tahu Man. Aku suka laut, sangat suka dan aku juga menyukai desa ini. Aku
tidak ingin pergi jauh dari desa ini Man. Keinginan terbesarku adalah laut
tetap seperti sekarang ini, bersih, indah, dan kaya akan hasil alamnya Man.”
Kataku pada Rahman. Aku memang tidak tahu ingin jadi apa aku nanti dan ingin
jadi seperti apa. Namun yang jelas aku begitu cinta pada laut, dan juga cinta
pada desa nelayan ini.
“Itu
memang selayaknya kau Yusuf. Teruslah jaga rasa cinta itu. Mungkin rasa cinta
itu yang akan menuntunmu nanti.” Rahman tersenyum. “Sudah sore, sepertinya aku
harus pulang. Lusa aku berangkat ke Bandung. Oleh karena itu, aku pamit padamu
Yusuf. Nanti aku akan mengirim surat padamu. Akan kuceritakan pengalaman –
pengalamanku di Bandung. Kau jangan lupa balas suratku ya.” Rahman menepuk
bahuku.
“Iya,
tentu saja.” Aku tersenyum lebar. Kami kemudian berjabat tangan dan Rahman
mengambil sepedanya. Dia segera menaiki sepeda itu, dan melambaikan tangan
padaku. Aku juga melambaikan tangan. Pandanganku mengikutinya, melihat dia yang
mengayuh menjauh. Adzan ashar berkumandang. Sosok Rahman terlihat begitu kecil
dan akhirnya menghilang dari pandanganku. Aku berlari pulang, bersiap – siap
untuk ke surau,
Siang
itu seorang wartawan televisi mengunjungi sebuah desa nelayan. Hari itu dia
memang bertugas meliput sebuah desa nelayan yang kabarnya mulai tumbuh menjadi
pusat produksi makanan olahan laut terbesar di Indonesia bagian timur. Dia
sebenarnya tidak suka bertugas di sana, karena menurutnya sebuah sumber daya
alam yang di dayagunakan seperti itu pasti keadannya menyedihkan. Menurutnya
masyarakat sekitar pasti hanya memanfaatkan sumber daya alam yang ada tanpa mau
menjaga dan merawat dengan baik. Semua pandangan itu berdasarkan pengalamannya
bekerja selama ini.
Sebuah
gapura bertuliskan kampung nelayan menyambut wartawan dan kru nya. Mereka
segera turun dari mobil, karena memang ada aturan mobil agar di parkir dekat
gapura. Di dekat gapura itu sendiri memang telah di sediakan lahan parkir.
Berjalan sekitar setengah jam mereka mulai menginjakkan kaki di area tanah
berpasir. Kiri kanan jalan terdapat rumah – rumah penduduk dengan bentuk rumah
panggung. Seisi kampung rapi dan bersih. Tidak ada sampah yang berceceran dan
berserakan. Angin laut bertiup ke arah mereka, mebmbawa bau segar ikan. Namun
sebenarnya dari rumah – rumah sendiri tercium bau harum. Bau olahan makanan
ikan yang bermacam – macam. Warga kampung sendiri ada yang sibuk di rumah dan
bekerja sedangkan anak – anaka sibuk bermain di luar rumah.
Wartawam
itu berjalan menuju ke pantai. Dia heran, semua yang ada di kampung ini begitu
rapi dan bersih, padahal tempat ini merupakan pusat makanan olahan laut
terbesar di Indonesia bagian timur. Tiba di pantai semua tetap terlihat bersih.
Pasir yang putih di pantai, dengan deburan ombak yang datang berirama, laut
yang biru jernih dan tentunya tanpa sampah. Hebat sekali benar – benar tidak
seperti dia bayangkan. Puas memandang pantai, dia kembali teringat tugasnya.
Hari
ini wartawan itu bertugas mewawancarai orang yang membangun kampung nelayan ini.
Kabarnya laki – laki itu pendidikannya tidak terlalu tinggi. Dia hanya tamat
SMA tapi dia berhasil membangun kampung ini dan memberdayakan masyarakatnya.
Menurut cerita berdasar surat – surat sahabatnya dan diskusi mereka dengan
surat tersebut, laki – laki itu bertekad untuk membangun kampung nelayan ini.
Dia ingin tempat tinggalnya lebih baik lagi dan tetap terjaga. Mulailah ia
berusaha menyadarkan masyarakat. Dia juga mulai berusaha memahamkan masyarakat
untuk membuat makanan laut menjadi makanan olahan, karena makanan olahan tentu
memiliki harga jual lebih. Selain itu dia juga membuat masyarakat tetap menjaga
kebersihan dan kekayaan alam yang ada di laut.
Wartawan
itu sangat beruntung selain bertemu dengan laki – laki yang telah membangun
desa nelayan itu, daia juga akan bertemu dengan sahabtnya. Sahabat laki – laki
itu kabarnya merupakan slah seorang arsitek ternama. Dia focus pada pembuatan
bangunan yang ramah lingkungan. Desain bangunan yang dibuatnya tidak hanya terkenal
di dalam negeri tapi juga di luar negeri. Dari kejauhan wartawan itu melihat
dua orang laki – laki melambaikan tangan padanya. Salah satu berkulit putih
berkacamata dan yang satunya berkulit kecoklatan sepertinya karena terbakar
matahari. Wartawan itu membalas lambaian tangan mereka den berjalan menuju
pantai menyambut dua laki – laki hebat itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar