Halaman

.

Jumat, 20 September 2013

Anak Nelayan



Anak Nelayan

Matahari berada tepat di atas kepala. Panasnya terasa menghangatkan tubuhku yang sebagian besar terendam air. Musim panas begini menjadi saat – saat kesukaan kami para anak nelayan. Air laut sedikit lebih hangat dari biasanya. Sudah dua jam aku berenang di laut. Sesekali masuk ke bagian yang lebih dalam untuk mengambil rumput laut. Sebelumnya aku membantu Bapak mengangkat jaring yang kami pasang tadi malam. Ikan yang terjerat lumayan banyak. Kami mengambil beberapa ekor ikan untuk persediaan lauk di rumah, sisanya kami jual ke tengkulak di pasar.
Begitu sering berinteraksi dengan laut membuat aku menyukainya. Namun bukan hanya suka aku juga mengagumi laut. Tidak ada tempat seindah laut, yang memiliki hewan dan tumbuhan begitu banyak jumlahnya. Menyelam merupakan cara terbaik untuk menikmati keindahan laut. Berenang bersama ikan – ikan dan mengamati terumbu karang. Aku tidak pernah bosan melakukannya selama bertahun – tahun. Saat yang paling aku sukai adalah ketika bertemu kawanan ikan yang berenang bersamaan. Jumlah mereka ratusan. Seperti ingin menyerbumu tapi ternyata hanya lewat begitu saja.

“Yusuf sudah lama kau berenang di laut ayo pulang. Mamakmu pasti sudah memasakkan makan siang untuk kita semua.” Kata Bapak sedikit berteriak sembari melambaikan tangan padaku.
“Baiklah Pak Yusuf akan segera naik.” Kataku sembari menuju kearah perahu. Aku segera menaiki perahu. Bapak adalah seorang nelayan yang rajin. Malam hari Bapak memasang jaring. Pagi hari melaut ke bagian yang lebih jauh untuk mendapat ikan yang lebih besar. Siangnya Bapak mengangkat jaring. Untungnya saat ini sedang liburan sekolah, jadi aku bisa membantu Bapak lebih sering.
Bapak menghidupkan mesin perahu. Suara mesin begitu berisik, aku tidak suka. Akan tetapi ketika perahu berjalan membelah lautan suara berisik itu berkurang. Tertutupi oleh suara deburan ombak yang menghantam perahu. Dua puluh menit kemudian kami tiba di bibir pantai. Bapak membawakan aku beberapa ekor ikan untuk di rumah. Aku segera berjalan ke rumah. Sedangkan Bapak membawa ikan hasil tangkapan ke tengkulak. Beberapa langkah lagi aku akan tiba di rumah. Rumah kami tergolong rumah sederhana. Rumah kami berbentuk rumah panggung, Kutemui Mamak yang ada di dapur kemudian kuserahkan ikannya.
Makan siang sudah terhidang di meja makan. Segera ku ambil piring dan mulai mengambil makan. Lauk yang terhidang tentu saja makanan laut. Cumi – cumi, ikan dengan ukuran sebesar lengan bawah orang dewasa, udang ukuran besar, kerang dan banyak lagi. Kami tidak pernah kekurangan makanan di sini, karena alam yang kaya senantiasa menyediakan kekayaannya untuk kami.
Mamak keluar dari dapur dan duduk di sebelahku. Kemudian seperti biasa, meskipun aku sedang libur Mamak pasti akan menanyakan tentang sekolah. Kujelaskan pada Mamak tentang sekolah serta nilai – nilaiku. Nilaiku di sekolah termasuk lumayan, tidak jelek – jelek. Mamak mengangguk – angguk saja. Aku tahu sebenarnya Mamak tidak terlalu mengerti tentang nilai, karena dulu Mamak tidak pernah sekolah. Namun semangat Mamak selalu tinggi untuk menyuruhku sekolah. Mamak ingin anaknya menjadi orang pintar yang bisa membangun bangsa, itu yang berulang – ulang Mamak katakan.
Waktu menunjukkan pukul dua siang. Sepertinya ada hal yang kulupakan, kucoba untuk mengingat – ingat. Janji pukul satu siang di pantai. Benar – benar aku pelupa sekali. Segera aku berpamitan pada Mamak kemudian pergi menuju pantai. Sebenarnya pukul satu siang ini aku ingin bertemu dengan sahabatku. Sekitar lima menit kemudian aku tiba di pantai. Kusapukan pandangan, mencari – cari sosok orang yang ingin ku temui. Seorang anak berkacamata duduk di atas pasir, pandangannya menatap jauh ke arah laut. Ternyata kamu ada di sana.
“Assalamualaykum Man. Maaf terlambat, aku kira kau sudah pulang.” Kataku pada laki – laki berkacamata yang bernama Rahman itu.
“Tidak masalah, hari ini kan aku memang sengaja ingin bertemu denganmu.” Kata Rahman sembari tersenyum.
“Sebenarnya ada apa Man, beberapa hari yang lalu suratmu datang dan kau ingin kita bertemu di sini.” Aku merasa begitu penasaran.
“Kau ingat saat pertama kali kita bertemu di sini? Saat itu aku sendirian kemari dan aku ingin belajar berenang tapi yang ada aku tenggelam. Kemudian kau datang menolongku. Seandainya tidak ada kau saat itu tidak tahu bagaimana nasibku sekarang.” Kata Rahman yang kembali memandang ke arah lautan.
“Tentu saja aku ingat. Sudahlah Man,yang penting sekarang kamu selamat, sehat. Hal yang sudah berlalu janganlah kamu ingat – ingat lagi.” Kutepuk bahu Rahman pelan.
“Iya kau benar. Aku senang bisa bertemu denganmu Yusuf. Senag bisa mengenalmu, senag juga beberapa tahun ini aku sudah mendapat guru renang yang hebat dan sekarang aku sudah lebih mahir berenang. Aku sangat senang, tapi sayangnya kali ini aku ingin berpamitan padamu.” Rahman mengalihkan pandangannya padaku.
“Berpamitan? Memang kau ini mau kemana Man?”Tanyaku pada Rahman.
“Aku ingin ke pulau Jawa. Aku ingin menjadi Insinyur Yusuf, seperti Bapakku. Aku ingin bersekolah di ITB. Aku ingin menjadi insinyur hebat seperti Habibie. Di rumah Bapak selalu bercerita tentang Habibie dan betapa hebatnya dia, karena itu Yusuf aku ingin seperti Habibie.” Kata Rahman.
“Kita saja masih sekolah menengah pertama Man, kuliah kan masih nanti. Kenapa kamu ingin pindah sekarang?” Aku menatap lekat – lekat sahabatku itu.
“Iya kau benar kita memang masih di sekolah menengah pertama. Aku akan pindah Yusuf, ke tempat Pamanku di Bandung. Aku akan melanjutkan  sekolah menangah pertama di sana, kemudian sekolah menengah atas dan kuliah di ITB.” Rahman berkata panjang lebar.
“Kenapa tidak di sini saja?” Aku masih tidak mengerti dengan keinginan sahabatku ini. Sekolah tempatnya belajar jauh lebih bagus dariku. Sekolahnya berada di kota, dekat dengan rumahnya. Murid – muridnya juga pintar. Sedangkan sekolahku biasa – biasa saja, hanya sekolah yang ada di pinggiran kota. Jika ingin pergi ke sekolah aku harus berjalan sekitar tujuh kilo. Murid – murid di sana tidak terlalu pintar. Bahkan banyak yang jarang masuk sekolah karena lebih memilih pergi ke laut, membantu orang tua.
“Kata Bapakku di sini semangat untuk sekolah dan semangat untuk belajar masih rendah Man. Taraf ilmu yang di ajarkan juga berbeda dengan yang di Jawa. Kita masih tertinggal Man. Oleh karena itu, untuk mencapai cita – citaku aku ingin bertemu dengan orang – orang yang memiliki semangat belajar tinggi dan juga ingin mendapatkan ilmu yang lebih lagi.” Rahman bercerita dengan raut wajah yang serius.
“Oh begitu.” Aku berucap. Hanya itu saja kata – kata yang dapat ku katakan. Aku sedih jika harus berpisah dengan Rahman. Tiga tahun sudah kami bersahabat dan menyenangkan sekali berteman dengannya. Rahman selalu bercerita banyak hal padaku dan membawa pengetahuan baru yang tidak kuketahui sebelumnya. Saat mengajarinya berenang juga menjadi saat yang begitu menyenangkan karena kami dapat tertawa – tawa dengan puas.
“Yusuf apa cita – citamu? Ketika kau nanti dewasa, kau ingin menjadi apa? Ingin seperti apa?” Rahman tiba – tiba memberondongku dengan beberapa pertanyaan.
“Aku tidak tahu Man. Aku suka laut, sangat suka dan aku juga menyukai desa ini. Aku tidak ingin pergi jauh dari desa ini Man. Keinginan terbesarku adalah laut tetap seperti sekarang ini, bersih, indah, dan kaya akan hasil alamnya Man.” Kataku pada Rahman. Aku memang tidak tahu ingin jadi apa aku nanti dan ingin jadi seperti apa. Namun yang jelas aku begitu cinta pada laut, dan juga cinta pada desa nelayan ini.
“Itu memang selayaknya kau Yusuf. Teruslah jaga rasa cinta itu. Mungkin rasa cinta itu yang akan menuntunmu nanti.” Rahman tersenyum. “Sudah sore, sepertinya aku harus pulang. Lusa aku berangkat ke Bandung. Oleh karena itu, aku pamit padamu Yusuf. Nanti aku akan mengirim surat padamu. Akan kuceritakan pengalaman – pengalamanku di Bandung. Kau jangan lupa balas suratku ya.” Rahman menepuk bahuku.
“Iya, tentu saja.” Aku tersenyum lebar. Kami kemudian berjabat tangan dan Rahman mengambil sepedanya. Dia segera menaiki sepeda itu, dan melambaikan tangan padaku. Aku juga melambaikan tangan. Pandanganku mengikutinya, melihat dia yang mengayuh menjauh. Adzan ashar berkumandang. Sosok Rahman terlihat begitu kecil dan akhirnya menghilang dari pandanganku. Aku berlari pulang, bersiap – siap untuk ke surau,



Siang itu seorang wartawan televisi mengunjungi sebuah desa nelayan. Hari itu dia memang bertugas meliput sebuah desa nelayan yang kabarnya mulai tumbuh menjadi pusat produksi makanan olahan laut terbesar di Indonesia bagian timur. Dia sebenarnya tidak suka bertugas di sana, karena menurutnya sebuah sumber daya alam yang di dayagunakan seperti itu pasti keadannya menyedihkan. Menurutnya masyarakat sekitar pasti hanya memanfaatkan sumber daya alam yang ada tanpa mau menjaga dan merawat dengan baik. Semua pandangan itu berdasarkan pengalamannya bekerja selama ini.
Sebuah gapura bertuliskan kampung nelayan menyambut wartawan dan kru nya. Mereka segera turun dari mobil, karena memang ada aturan mobil agar di parkir dekat gapura. Di dekat gapura itu sendiri memang telah di sediakan lahan parkir. Berjalan sekitar setengah jam mereka mulai menginjakkan kaki di area tanah berpasir. Kiri kanan jalan terdapat rumah – rumah penduduk dengan bentuk rumah panggung. Seisi kampung rapi dan bersih. Tidak ada sampah yang berceceran dan berserakan. Angin laut bertiup ke arah mereka, mebmbawa bau segar ikan. Namun sebenarnya dari rumah – rumah sendiri tercium bau harum. Bau olahan makanan ikan yang bermacam – macam. Warga kampung sendiri ada yang sibuk di rumah dan bekerja sedangkan anak – anaka sibuk bermain di luar rumah.
Wartawam itu berjalan menuju ke pantai. Dia heran, semua yang ada di kampung ini begitu rapi dan bersih, padahal tempat ini merupakan pusat makanan olahan laut terbesar di Indonesia bagian timur. Tiba di pantai semua tetap terlihat bersih. Pasir yang putih di pantai, dengan deburan ombak yang datang berirama, laut yang biru jernih dan tentunya tanpa sampah. Hebat sekali benar – benar tidak seperti dia bayangkan. Puas memandang pantai, dia kembali teringat tugasnya.
Hari ini wartawan itu bertugas mewawancarai orang yang membangun kampung nelayan ini. Kabarnya laki – laki itu pendidikannya tidak terlalu tinggi. Dia hanya tamat SMA tapi dia berhasil membangun kampung ini dan memberdayakan masyarakatnya. Menurut cerita berdasar surat – surat sahabatnya dan diskusi mereka dengan surat tersebut, laki – laki itu bertekad untuk membangun kampung nelayan ini. Dia ingin tempat tinggalnya lebih baik lagi dan tetap terjaga. Mulailah ia berusaha menyadarkan masyarakat. Dia juga mulai berusaha memahamkan masyarakat untuk membuat makanan laut menjadi makanan olahan, karena makanan olahan tentu memiliki harga jual lebih. Selain itu dia juga membuat masyarakat tetap menjaga kebersihan dan kekayaan alam yang ada di laut.
Wartawan itu sangat beruntung selain bertemu dengan laki – laki yang telah membangun desa nelayan itu, daia juga akan bertemu dengan sahabtnya. Sahabat laki – laki itu kabarnya merupakan slah seorang arsitek ternama. Dia focus pada pembuatan bangunan yang ramah lingkungan. Desain bangunan yang dibuatnya tidak hanya terkenal di dalam negeri tapi juga di luar negeri. Dari kejauhan wartawan itu melihat dua orang laki – laki melambaikan tangan padanya. Salah satu berkulit putih berkacamata dan yang satunya berkulit kecoklatan sepertinya karena terbakar matahari. Wartawan itu membalas lambaian tangan mereka den berjalan menuju pantai menyambut dua laki – laki hebat itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar