Seorang Ayah
Ini bukan tentang ayah kandung saya,
tapi ini tentang seorang laki – laki yang entah kenapa sosoknya terasa seperti
Ayah bagi saya. Laki – laki ini seperti seorang Ayah meskipun kelakuannya
sering menyebalkan dan begitu usil. Seorang laki – laki yang memberi kenangan
menyenangkan walau hanya sebentar.
Pertama bertemu, ketika saya menjadi
seorang anak baru yang ingin memasuki sebuah organisasi besar di fakultas. Saat
itu ada beberapa tugas, salah satunya mewawancarai kakak senior di organisasi.
Ketika itu giliran saya dan beberapa orang yang belum saya kenal datang untuk
mewawancarai orang itu. Orang itu dari awal sudah terlihat memiliki kharisma,
ya dia berkharisma. Namun kesan seram, galak, dan menakutkan itu lebih terasa
daripada kharismanya.
Waktu bergulir beberapa bulan, jarang
berurusan dengan orang itu. Saya tidak terlalu mengenalnya. Hingga saat
pemilihan ketua tiba. Saat itu saya tidak terlalu mengerti tentang siapa saja
yang dicalonkan. Hanya tahu mereka, tapi tidak terlalu mengenal sifatnya. Ada
seorang kakak yang berkata pada saya untuk memilih laki – laki itu. Dia adalah
orang berpotensi, sebelumnya dia akan ditempatkan di universitas tapi karena
fakultas membutuhkan maka ditarik kembali ke fakultas begitulah kata kakak itu.
Saya hanya mengiyakan, mendengarkan. Toh
saya belum mengenal orang itu. Saya mengikuti proses seleksi pemilihan ketua,
maklumlah anak baru suka ingin tahu. Akhirnya tahu sedikit tentang para calon,
dan saya menentukan pilihan saya.
Akhirnya seorang ketua terpilih, benar
laki – laki itu menjadi seorang ketua. Organisasi mulai kembali bangun setelah
beristirahat saat pemilu. Aktivitas berjalan, mulai mengenal kepala departemen
yang baru dan mulai menjalankan program kerja yang sudah menunggu. Awalnya
ketua organisasi kami terasa jauh, jarang mengajak kami anak baru mengobrol.
Rasanya dengan ketua ada jarak yang begitu jauh.
Waktu kembali bergulir, program kerja
terus berjalan. Saya lupa bagaimana semua berawal mungkin karena kepala biro
saya. Saya menjadi lebih sering berada di sekertariat, melakukan banyak hal
yang menyenangkan dan bersama teman – teman yang juga tak kalah
menyenangkannya. Tahu – tahu laki – laki itu memulai dengan ejekan – ejekannya.
Sepertinya prinsip untuk membangun kedekatan menurut orang itu dengan cara
ejekan dan celaan, ya begitulah dia. Begitulah dia, pun menjadi begitulah
mereka dan sepertinya menular menjadi begitulah kami.
Kedekatan mulai terbangun dengan laki –
laki itu, dengan teman – teman seangkatan juga. Menyenangkan sekali. Menghabiskan
waktu sore bersama. Duduk – duduk di depan sekertariat, bercanda, dan
mengobrol.
Orang itu ya seperti apa dia adanya.
Tegas dan suka bercanda juga suka mengejek. Dia memberikan targetan – targetan
yang sepertinya sulit di capai, Akan tetapi dengan target tersebut kami secara
tidak langsung jadi terpacu dalam mengerjakan program kerja. Ada saat suatu
ketika dia berkeliling mengawasi kami yang sedang berada di departemen untuk
presentasi. Waktu itu sedang berlangsung acara pelatihan pembelajar sukses mahasiswa
baru di teknik. Dia berkeliling – keliling membawa sebuah tongkat yang lumayan
panjang. Laki – laki itu dengan senangnya mengatakan dia akan memukul
departemen yang presentasinya tidak bagus. Kami hanya tertawa – tawa saja saat
dia berkeliling. Bagaimana mungkin seorang ketua sebuah organisasi besar di
fakultas jalan berkeliling dengan membawa tongkat di tangan. Begitulah –
begitulah dia.
Sosok seorang ayah yang mengingat anak
– anaknya. Entah kenapa menurutku itu tergambar ketika dia datang ke sekertariat
membawa sekotak roti sebagai balas jasa karena telah menjadi pembicara dalam
acara – acara. Kami sering menyambutnya dengan senang, mungkin juga menyambut
rotinya. Namun entah mengapa rasanya sepeti seorang ayah yang senantiasa
teringat pada anak – anaknya. Dia megayomi, membuat kami nyaman dengan caranya.
Memang sering dia menyebabkan perdebatan sering membawa suara – suara berisik.
Dia orang yang suka bercerita, menyenangkan mendengar ceritanya tentang berita
– berita atau mungkin informasi yang belum pernah saya dengar.
Jarak itu tidak terlalu jauh lagi.
Bahkan mengejeknya adalah hal yang biasa. Saya tidak sungkan untuk
melakukannya. Seperti itulah, hingga akhirnya cerita sampai pada ujungnya.
Tidak tahu apakah cerita telah berakhir atau belum. Namun cerita tentang sosok
ayah ini bergulir dan mencapai ujung. Dia adalah sosok seorang ayah, bukan ayah
dalam arti sebenarnya. Akan tetapi entah kenapa terasa seperti ayah bagi saya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar