Rumah Seng
Awalnya
aku tertarik dengan sisi lain dari kisah ini. Akan tetapi karena
keingintahuanku sendiri, ketertarikanku menjadi berubah. Mari kita mulai saja
ceritanya
Cerita kali ini berlatar tempat tinggalku.
Sebuah desa yang masih dikelilingi dengan sawah, tapi sekarang lahan sawah yang
ada semakin berkurang. Di desa ku terdapat sebuah Universitas swasta yang cukup
besar. Jadi tempat tinggalku bukanlah tempat tinggal terpencil di pelosok yang
belum ada warnet (warung internet). Bahkan di sini warnet mulai kehilangan
pamornya. Maklumlah mahasiswa sekarang banyak yang memilih menggunakan laptop
Lama
menimba ilmu dan juga bermain - main di Yogyakarta, akhirnya tiba juga saat
untuk pulang ke rumah. Seperti biasa sampai di rumah adalah saat untuk
beristirahat dari kegiatan perkuliahan. Bahkan terkadang satu dua pesan yang
masuk berhubungan dengan urusan kampus juga malas untuk di jawab. Begitulah
karena benar – benar ingin beristirahat jauh dari itu semua untuk sementara.
Meski sering juga terkena ocehan Ibu karena terlalu banyak “beristirahat”.
Kisah
ini dimulai dari ketertarikanku pada sebuah rumah yang dindingnya teerbuat dari
seng. Yang ku maksud bukan rumah unik dari seng yang di buat oleh arsitek
ternama. Akan tetapi rumah dari seng yang di berdirikan sejajar sehingga
terbentuk dinding. Seng yang di berdirikan tidak tertata rapi, tingginya juga
tidak sama. Ada selisih tinggi seng yang di gunakan untuk dinding walaupun
tidak terlalu banyak. Seng yang digunakan ada beberapa yang terlihat kecoklatan
karena berkarat. Rumah ini bukan didirikan oleh arsitek ternama, tapi mungkin didirikan
oleh orang yang tidak terbesit dalam pikirannya tentang desain rumah. Jika saja
rumah seng ini dapat di sebut rumah.
Benar
rumah seng itu memiliki atap, memiliki dinding dan ada pintu juga. Namun
lantainya terbuat dari tanah hitam, belum bersemen. Lebih dari itu bahkan rumah
itu juga menjadi tempat untuk mengumpulkan barang rongsokan. Aku tidak tahu
apakah salah satu anggota keluarga mereka bekerja menjadi tukang pengumpul
barang rongsok atau bukan. Akan tetapi yang kutahu dari melihat, begitu banyak
barang rongsokan di rumah itu. Sepeda yang tidak terpakai dan barang – barang
lain yang aku tidak tahu apa saja, karena aku memperhatikan rumah itu jika
lewat menggunakan motor jadi tidak terlalu jelas. Hal yang membuat aku mulai
tertarik adalah ketika melihat anak kecil dalam rumah itu. Kemungkinan besar
anak pemilik rumah. Terbayang di benakku anak kecil itu tidur diantara barang
rongsokan yang memenuhi rumahnya. Tempat gelap, kebersihan tidak tahu seperti
apa, dan mungkin jauh dari nyaman. Kasihan sekali seorang anak menghabiskan
masa kecilnya dalam keadaan seperti itu.
Sebenarnya
sebelum rumah seng itu berdiri, dulunya di tempat itu ada sebuah warung makan.
Aku sedikit lupa warung soto atau prasmanan biasa, maklumlah umur sedikit
bertambah. Hal itulah yang membuat aku penasaran. Kemana warung yang dulu ada di
tempat rumah seng itu berdiri. Kenapa sekarang warung itu sudah tidak ada lagi.
Dihantui rasa penasaran akhirnya aku bertanya pada Ibu.
“Bu
warung yang di sana itu lho yang di belokan mau ke perumahan kalau dari jalan
yang sebelah sana itu lho, sekarang kemana Bu?” Tanyaku pada Ibu yang sedang
sibuk di meja setrikanya.
“Sana,
sana itu sana yang mana?” Ibu balik bertanya padaku.
“Itu
lho yang belokan mau ke perumahan kalo dari jalan sawah yang dari arah kantor
itu lho.”Aku bingung bagaimana memberikan gambaran yang tepat. Aku tidak
terlalu pintar menggambarkan ancer – ancer suatu tempat.
“Yang
mana tho? Yang mana?”Tanya Ibuku lagi.
“Yang
itu lho, yang dulunya warung makan sekarang jadi kayak rumah dari seng
itu.”Jawabku, berusaha menjelaskan.
“Warung
yang itu, di bakar sama warga.”Kata Ibuku.
“Lho,
dibakar?”Aku terkejut.
“Iya
dibakar.”Kata Ibu lagi.
“Kenapa
kog dibakar? Kog jahat banget.”Aku bertanya lagi karena sangat penasaran.
“Habis
warungnya sering dibuat yang “ngga – ngga”. Sering di pake buat hal yang ga
bener.” Kata Ibuku, masih asyik menghaluskan pakaian yang di setrika.
“Di
pake buat yang ga bener gimana?”Aku tidak mengerti.
“Ya
yang ga bener, ya yang kayak gitu – gitu.”Ibu tidak menejelaskan dengan
gamblang, tapi aku menangkap maksudnya. Sepertinya tempat itu menjadi yah,
bukan tempat yang baik seperti Ibu katakan.
“Terus
Ibu liat waktu di bakar? Kog bisa tahu?” Tanyaku lagi.
“Ga,
Ibu diceritain.” Kata Ibuku. Aku manggut – manggut. Di dalam hati aku berpikir,
ini kekuatan bertetangga ya. Urusan di ujung sana bisa sampai ujung satunya.
“Tapi
jahat ya, di bakar kayak gitu.” Kataku pada Ibu.
“Ya
orang di buat yang ga bener.”Kata Ibu lagi.
“Tetep
aja jahat di bakar gitu.”Aku masih tetap menyangkal.
“Jahat
gimana, orangnya yang punya udah di usir. Terus warungnya di bakar karena
pernah di pake buat yang ga bener. Bukan yang punya di bakar hidup – hidup di
dalemnya.” Ibu menjelaskan.
“Ooh,
tapi kaan ….” Aku tidak melanjutkan bukan hal yang tepat untuk berdebat.
Semuanya sudah terjadi dan Ibuku kan hanya mendengar ceritanya. Aku tahu memang
itu bukan tempat yang baik dan pemilik rumah tidak di sakiti secara fisik. Akan
tetapi membakar sesuatu? Rasanya kurang sesuai saja dengan nurani. Masyarakat
mungkin memiliki cara pandang tersendiri dan mungkin saja itu cara tersecepat
yang dapat di lakukan untuk menyelesaikan masalah. Inilah yang membuatku tertarik, realita yang terjadi di masyarakat. Aku mengira yang namanya bakar membakar seperti itu hanya terjadi di televisi, tapi ternyata di dunia nyata juga ada. Benar Aku mencoba membicarakan hal
yang lain dengan Ibu. “Lha sekarang di pake buat tempat rongsok, tapi juga jadi
rumah.” Kataku pada Ibu.
“Iya
kayaknya.” Ibu menimpali.
“Kasian,
masa tinggal sama barang – barang rongsokan gitu.” Aku berkomentar.
“Semua
orang punya jalannya masing – masing. Kamu itu harusnya masih bersyukur
…..” Ibu memulai ceramahnya lagi. Aku
setengah mendegarkan setengah tidak.
Hari
ini aku lewat lagi di depan rumah itu dengan menggunakan motor tentunya. Saat
aku lewat aku melihat seorang lelaki membelakangiku. Aku tidak tahu dia sedang
melakukan apa. Aku juga melihat seorang wanita berkerudung usianya sudah agak
tua, sedang membersihkan motor. Motor yang di bersihkan bukan motor – motor
jaman sekaran yang bagus – bagus. Akan tetapi motor yang terlihat begitu antic.
Aku tidak tahu apakah motor tersebut barang rongsok yang akan di jual atau
motor yang biasa mereka gunakan. Mari kita berusaha berprasangka baik, mungkin
saja motor itu milik mereka yang biasa mereka gunakan.
Jadi
mereka memiliki motor. Terkadang memang terlihat menyulitkan bagi kita yang
memandang. Terkadang mungkin terasa sulit juga bagi yang merasakan. Akan tetapi
lebih dari itu ada banyak hal yang bisa kita syukuri, meskipun tinggal dalam
sebuah rumah seng.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar