Halaman

.

Sabtu, 03 Agustus 2013

Sebuah Realita



Rumah Seng

Awalnya aku tertarik dengan sisi lain dari kisah ini. Akan tetapi karena keingintahuanku sendiri, ketertarikanku menjadi berubah. Mari kita mulai saja ceritanya
 Cerita kali ini berlatar tempat tinggalku. Sebuah desa yang masih dikelilingi dengan sawah, tapi sekarang lahan sawah yang ada semakin berkurang. Di desa ku terdapat sebuah Universitas swasta yang cukup besar. Jadi tempat tinggalku bukanlah tempat tinggal terpencil di pelosok yang belum ada warnet (warung internet). Bahkan di sini warnet mulai kehilangan pamornya. Maklumlah mahasiswa sekarang banyak yang memilih menggunakan laptop
Lama menimba ilmu dan juga bermain - main di Yogyakarta, akhirnya tiba juga saat untuk pulang ke rumah. Seperti biasa sampai di rumah adalah saat untuk beristirahat dari kegiatan perkuliahan. Bahkan terkadang satu dua pesan yang masuk berhubungan dengan urusan kampus juga malas untuk di jawab. Begitulah karena benar – benar ingin beristirahat jauh dari itu semua untuk sementara. Meski sering juga terkena ocehan Ibu karena terlalu banyak “beristirahat”.
Kisah ini dimulai dari ketertarikanku pada sebuah rumah yang dindingnya teerbuat dari seng. Yang ku maksud bukan rumah unik dari seng yang di buat oleh arsitek ternama. Akan tetapi rumah dari seng yang di berdirikan sejajar sehingga terbentuk dinding. Seng yang di berdirikan tidak tertata rapi, tingginya juga tidak sama. Ada selisih tinggi seng yang di gunakan untuk dinding walaupun tidak terlalu banyak. Seng yang digunakan ada beberapa yang terlihat kecoklatan karena berkarat. Rumah ini bukan didirikan oleh arsitek ternama, tapi mungkin didirikan oleh orang yang tidak terbesit dalam pikirannya tentang desain rumah. Jika saja rumah seng ini dapat di sebut rumah.

Benar rumah seng itu memiliki atap, memiliki dinding dan ada pintu juga. Namun lantainya terbuat dari tanah hitam, belum bersemen. Lebih dari itu bahkan rumah itu juga menjadi tempat untuk mengumpulkan barang rongsokan. Aku tidak tahu apakah salah satu anggota keluarga mereka bekerja menjadi tukang pengumpul barang rongsok atau bukan. Akan tetapi yang kutahu dari melihat, begitu banyak barang rongsokan di rumah itu. Sepeda yang tidak terpakai dan barang – barang lain yang aku tidak tahu apa saja, karena aku memperhatikan rumah itu jika lewat menggunakan motor jadi tidak terlalu jelas. Hal yang membuat aku mulai tertarik adalah ketika melihat anak kecil dalam rumah itu. Kemungkinan besar anak pemilik rumah. Terbayang di benakku anak kecil itu tidur diantara barang rongsokan yang memenuhi rumahnya. Tempat gelap, kebersihan tidak tahu seperti apa, dan mungkin jauh dari nyaman. Kasihan sekali seorang anak menghabiskan masa kecilnya dalam keadaan seperti itu.
Sebenarnya sebelum rumah seng itu berdiri, dulunya di tempat itu ada sebuah warung makan. Aku sedikit lupa warung soto atau prasmanan biasa, maklumlah umur sedikit bertambah. Hal itulah yang membuat aku penasaran. Kemana warung yang dulu ada di tempat rumah seng itu berdiri. Kenapa sekarang warung itu sudah tidak ada lagi. Dihantui rasa penasaran akhirnya aku bertanya pada Ibu.
“Bu warung yang di sana itu lho yang di belokan mau ke perumahan kalau dari jalan yang sebelah sana itu lho, sekarang kemana Bu?” Tanyaku pada Ibu yang sedang sibuk di meja setrikanya.
“Sana, sana itu sana yang mana?” Ibu balik bertanya padaku.
“Itu lho yang belokan mau ke perumahan kalo dari jalan sawah yang dari arah kantor itu lho.”Aku bingung bagaimana memberikan gambaran yang tepat. Aku tidak terlalu pintar menggambarkan ancer – ancer suatu tempat.
“Yang mana tho? Yang mana?”Tanya Ibuku lagi.
“Yang itu lho, yang dulunya warung makan sekarang jadi kayak rumah dari seng itu.”Jawabku, berusaha menjelaskan.
“Warung yang itu, di bakar sama warga.”Kata Ibuku.
“Lho, dibakar?”Aku terkejut.
“Iya dibakar.”Kata Ibu lagi.
“Kenapa kog dibakar? Kog jahat banget.”Aku bertanya lagi karena sangat penasaran.
“Habis warungnya sering dibuat yang “ngga – ngga”. Sering di pake buat hal yang ga bener.” Kata Ibuku, masih asyik menghaluskan pakaian yang di setrika.
“Di pake buat yang ga bener gimana?”Aku tidak mengerti.
“Ya yang ga bener, ya yang kayak gitu – gitu.”Ibu tidak menejelaskan dengan gamblang, tapi aku menangkap maksudnya. Sepertinya tempat itu menjadi yah, bukan tempat yang baik seperti Ibu katakan.
“Terus Ibu liat waktu di bakar? Kog bisa tahu?” Tanyaku lagi.
“Ga, Ibu diceritain.” Kata Ibuku. Aku manggut – manggut. Di dalam hati aku berpikir, ini kekuatan bertetangga ya. Urusan di ujung sana  bisa sampai ujung satunya.
“Tapi jahat ya, di bakar kayak gitu.” Kataku pada Ibu.
“Ya orang di buat yang ga bener.”Kata Ibu lagi.
“Tetep aja jahat di bakar gitu.”Aku masih tetap menyangkal.
“Jahat gimana, orangnya yang punya udah di usir. Terus warungnya di bakar karena pernah di pake buat yang ga bener. Bukan yang punya di bakar hidup – hidup di dalemnya.” Ibu menjelaskan.
“Ooh, tapi kaan ….” Aku tidak melanjutkan bukan hal yang tepat untuk berdebat. Semuanya sudah terjadi dan Ibuku kan hanya mendengar ceritanya. Aku tahu memang itu bukan tempat yang baik dan pemilik rumah tidak di sakiti secara fisik. Akan tetapi membakar sesuatu? Rasanya kurang sesuai saja dengan nurani. Masyarakat mungkin memiliki cara pandang tersendiri dan mungkin saja itu cara tersecepat yang dapat di lakukan untuk menyelesaikan masalah. Inilah yang membuatku tertarik, realita yang terjadi di masyarakat. Aku mengira yang namanya bakar membakar seperti itu hanya terjadi di televisi, tapi ternyata di dunia nyata juga ada. Benar Aku mencoba membicarakan hal yang lain dengan Ibu. “Lha sekarang di pake buat tempat rongsok, tapi juga jadi rumah.” Kataku pada Ibu.
“Iya kayaknya.” Ibu menimpali.
“Kasian, masa tinggal sama barang – barang rongsokan gitu.” Aku berkomentar.
“Semua orang punya jalannya masing – masing. Kamu itu harusnya masih bersyukur …..”  Ibu memulai ceramahnya lagi. Aku setengah mendegarkan setengah tidak.
Hari ini aku lewat lagi di depan rumah itu dengan menggunakan motor tentunya. Saat aku lewat aku melihat seorang lelaki membelakangiku. Aku tidak tahu dia sedang melakukan apa. Aku juga melihat seorang wanita berkerudung usianya sudah agak tua, sedang membersihkan motor. Motor yang di bersihkan bukan motor – motor jaman sekaran yang bagus – bagus. Akan tetapi motor yang terlihat begitu antic. Aku tidak tahu apakah motor tersebut barang rongsok yang akan di jual atau motor yang biasa mereka gunakan. Mari kita berusaha berprasangka baik, mungkin saja motor itu milik mereka yang biasa mereka gunakan.
Jadi mereka memiliki motor. Terkadang memang terlihat menyulitkan bagi kita yang memandang. Terkadang mungkin terasa sulit juga bagi yang merasakan. Akan tetapi lebih dari itu ada banyak hal yang bisa kita syukuri, meskipun tinggal dalam sebuah rumah seng.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar